SERANGRAYA.ID | Jakarta, 28 Juni 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan perannya sebagai pengawal konstitusi dengan mengeluarkan putusan monumental Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada Kamis, 27 Juni 2025. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pemilu Nasional (Presiden/Wapres, DPR, dan DPD) dan Pemilu Daerah (Pilkada dan DPRD) tidak boleh lagi diselenggarakan secara serentak, dan harus dipisah dengan jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun. Ini adalah titik balik penting dalam rekonstruksi sistem demokrasi Indonesia.
Pilar Konstitusi yang Kembali Ditegakkan
Sejak awal kelahirannya, Mahkamah Konstitusi hadir bukan sebagai lembaga pelengkap, tetapi sebagai pilar penyangga marwah konstitusi. Ia menjadi tembok pembatas antara kekuasaan dan keadilan, antara kepentingan politik dan prinsip hukum. Putusan No. 135 ini sekali lagi menguatkan posisi MK sebagai institusi yang berani mengambil langkah korektif atas kekeliruan sistemik dalam desain pemilu nasional selama satu dekade terakhir.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemisahan pemilu nasional dan daerah bukan sekadar persoalan teknis waktu, tetapi menyangkut kualitas demokrasi, efisiensi anggaran, keselamatan penyelenggara, dan kejelasan fokus politik. Dalam pemilu serentak sebelumnya, kita telah menyaksikan kelelahan ekstrem bahkan jatuhnya korban jiwa di kalangan petugas KPPS. Demokrasi tidak boleh dibayar dengan nyawa.
Respons KPU: “Putusan Ini Lebih Ideal dan Manusiawi”
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, dengan tegas menyambut putusan ini secara positif. Ia menyatakan bahwa pemilu serentak yang selama ini dilaksanakan memang sangat membebani dan berdampak buruk pada kesehatan para penyelenggara di lapangan. Dengan adanya putusan ini, KPU dapat merancang tahapan yang lebih terukur, manusiawi, dan akuntabel.
Dalam pernyataannya, Afif menilai pemisahan pemilu merupakan opsi yang lebih ideal karena tidak menumpuk tanggung jawab teknis dan logistik secara bersamaan. KPU berkomitmen mempelajari secara mendalam amar putusan tersebut untuk menjadi dasar dalam penataan jadwal dan desain pemilu ke depan.
Lembaga Negara Bersiap Menindaklanjuti
Kementerian Dalam Negeri melalui Wakil Menteri menyatakan bahwa putusan ini akan menjadi dasar dalam revisi UU Pemilu dan Pilkada. Langkah legislatif pun akan segera dimulai. Komisi II DPR RI turut menyatakan komitmennya untuk menjadikan putusan MK sebagai fokus utama pembahasan revisi undang-undang yang akan datang.
Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, menyebut bahwa perlu dilakukan “exercise serius” untuk menerjemahkan skema waktu, penyesuaian masa jabatan, dan formula transisi menuju 2029 dan seterusnya. Artinya, secara politis dan administratif, semua pihak bersiap menjalankan mandat konstitusional ini secara bertanggung jawab.
Ahmad Doli Kurnia Tandjung: Saatnya Demokrasi Disempurnakan
Tanggapan mendalam datang dari tokoh legislatif nasional, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, yang dikenal sebagai figur penting dalam reformasi sistem pemilu dan ketatanegaraan. Doli menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat harus dimaknai sebagai momentum konstitusional untuk membenahi secara menyeluruh fondasi demokrasi ke depan.
“Hasil keputusan MK sesuai dengan Undang-Undangnya adalah final dan mengikat. Maka ini adalah waktunya untuk menyempurnakan UU tersebut demi kemajuan demokrasi Indonesia”
Sebagai legislator yang selama ini aktif mengawal agenda reformasi kepemiluan, Doli menyerukan sinergi konkret antara DPR, Pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyusun model penyelenggaraan Pemilu Daerah yang tidak hanya efektif, tetapi juga bermartabat dan beradab.
“Kami yakin DPR dan pemerintah serta para stakeholder terkait dapat menciptakan model yang tepat dalam pelaksanaan pemilu daerah ke depan”
Doli juga mendorong agar revisi dilakukan tidak sepotong-sepotong, melainkan melalui pendekatan omnibus law yang melibatkan penyelarasan UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah secara terpadu.
Dave Laksono: Butuh Kehati-hatian, Tunggu Arah Legislasi
Sementara itu, Dave Laksono, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, menyampaikan bahwa partainya masih menunggu pembahasan resmi di DPR sebelum mengambil sikap final. Menurut Dave, pemisahan pemilu perlu dikaji lebih mendalam baik dari segi teknis maupun politis, agar implementasinya tidak menimbulkan komplikasi baru.
“Masih terlalu dini mengambil sikap. Kita akan tunggu pembahasan revisi UU Pemilu oleh DPR. Kita perlu tahu bagaimana desainnya, aturannya, dan dampaknya secara menyeluruh”
Dave menambahkan bahwa DPR dan pemerintah harus mengkaji potensi penyesuaian jadwal pemilu nasional dan daerah, termasuk kemungkinan memisahkan Pileg dan Pilpres di tahun yang sama namun bulan berbeda, demi menjaga fokus dan kualitas pilihan rakyat.
Putusan yang Menunjukkan Keberanian Konstitusional
Apa yang dilakukan MK lewat Putusan No. 135 ini adalah sebuah keberanian konstitusional. Di tengah riuhnya kepentingan kekuasaan, MK memilih untuk mengambil jalan sunyi konstitusi, yang tidak selalu populis, tetapi adil dan rasional. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak boleh tunduk pada tekanan politik, melainkan justru menjadi penjaga batas kuasa.
Putusan ini juga menunjukkan bahwa MK tidak hanya berorientasi pada legalitas prosedural, melainkan menegakkan keadilan substantif. Ia tidak sekadar mengoreksi format pemilu, tetapi juga menjaga kualitas demokrasi dan keselamatan warga negara.
Menuju Demokrasi yang Lebih Beradab
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, keputusan ini adalah langkah awal menata demokrasi yang lebih beradab dan terencana. Dengan waktu yang terpisah, rakyat bisa lebih fokus menilai kinerja calon pemimpin lokal dan nasional. Politik identitas, konflik kepentingan, dan kekacauan informasi dapat diminimalisir.
Kualitas pemilih meningkat. Transparansi politik menguat. Efisiensi anggaran terjaga. Dan yang lebih penting, martabat demokrasi tidak lagi dibebani oleh kebingungan administratif.
Menghormati Putusan MK, Menjaga Arah Bangsa
Setiap putusan Mahkamah Konstitusi adalah perwujudan dari suara konstitusi itu sendiri — bukan sekadar keputusan hukum, melainkan panggilan moral untuk bangsa ini. Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 harus kita sambut dengan kesadaran kolektif bahwa demokrasi tidak boleh dijalankan dengan tergesa dan ceroboh.
Ia harus tumbuh dari sistem yang adil, logis, dan memanusiakan manusia. Oleh karena itu, menghormati putusan MK adalah bagian dari menghormati cita-cita reformasi dan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagaimana ditegaskan dalam tulisan sebelumnya:
“Menjaga MK berarti menjaga ruh konstitusi. Dan menghormati setiap putusannya berarti menghormati amanat rakyat”
Oleh : Lembaga Komunikasi dan Informasi DPP Partai Golkar