Fenomena Bullying di Kalangan Pelajar Refleksi Kegagalan Sistem Pendidikan

- Redaksi

Minggu, 29 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SERANGRAYA.ID | SERANG – Bullying atau perundungan merupakan suatu penindasan yang ditimbulkan oleh pelajar yang berprilaku tempramen. Yang dilakukan dengan cara mengintimidasi, menghina, mengancam, melecehkan, bahkan menganiaya pun dianggap sangat wajar dan biasa saja. Fenomena ini mencerminkan adanya kegagalan dalam menciptakan ruang pendidikan yang aman dan mendukung bagi siswa.

Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JJPI) mencatat kekerasan di sekolah (fisik, psikis, seksual, dan perundungan). Pada 2022 sebanyak 194 kasus, meningkat menjadi 285 kasus di 2023, lalu melonjak drastic menjadi 573 kasus di 2024.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) hanya mencatat 30 kasus bullying yang diproses secara formal di 2023, sebagai bagian dari gambaran yang lebih sempit disbanding total kekerasan. Terdapat tren kenaikan signifikan dari 2022 sampai 2024 kasus hampir tiga kali lipat dalam dua tahun.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Budaya diam yang sudah mengakar menjadi penyebab utama mengapa bullying terus terjadi. Kita sangat lama menormalisasi kekerasan verbal, ejekan, dan intimidasi sebagai tradisi anak sekolah Ini adalah contoh dari pembiaran yang menjadi budaya diam.

Salah satu masalah nya yaitu minimnya literasi empati disekolah. Sistem pendidikan kita terlalu menekankan nilai akademik dan mengesampingkan penguatan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara aspek afektif dan karakter hanya jadi pelengkap di atas kertas. Padahal rasa aman secara psikologis adalah kebutuhan dasar dalam proses belajar parra siswa. Siswa yang takut dan tertekan tidak akan bisa berpikir jernih atau menyerap materi pelajaran.

Selain itu banyak kasus bullying tidak dilaporkan karena korban merasa takut dan malu. Kejadian itu bukan hanya melukai fisik, tapi meninggalkan luka batin yang dalam dan memengaruhi semangat belajar serta kesehatan mental korban tersebut. Rasa tidak percaya mereka ini adalah alarm serius bagi institusi pendidikan. Guru sebagai figure sentral dalam kelas sering kali tidak peka atau terlalu terbebani dengan administrasi, sehingga gagal mendeteksi dinamika sosial diantara siswa.

Banyak guru tidak sadar bahwa absennya mereka dari kelas bisa menjadi kesempatan bagi tindakan kekerasan psikologis atau fisik, bahkan dalam hitungan menit. Sangat mengagetkan para pengajar seperti mendapat tamparan keras dari kejadian itu meskipun mereka memiliki berbagai alasan yang dipahami dan dimengerti. Apalagi pengajar yang sengaja meninggalkan kelas tanpa adanya alasan yang jelas. Hanya kemalasan semata yang ditunjukkan kepada muridnya.
Kurikulum pendidikan nasional pun belum cukup memberi ruang bagi pembentukan karakter yang utuh. Pendidikan nilai hanya menjadi formalitas dalam silabus, bukan praktik nyata di ruang kelas. Padahal, pembelajaran nilai-nilai harus dilakukan melalui keteladanan dan interaksi sosial yang sehat. Ketika guru tidak hadir secara emosional maupun fisik dalam kehidupan siswa, mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi teladan dan pelindung.

Menyalahkan siswa semata bukan solusi. Pelaku bullying biasanya juga adalah korban dari system yang keras, keluarga yang bermasalah, atau lingkungan sosial yang penuh tekanan. Pelaku bullying sering kali tidak menyadari bahwa tindakannya adalah bentuk dari kekerasan. Mereka menyalurkan emosi negative melalui kekuasaan terhadap teman-temannya. Semua pihak harus lebih sadar dan teliti bahwa bullying bukan masalah sepele, melainkan bom waktu yang bisa meledak dalam bentuk krisis generasi.

Sekolah harusnya menjadi tempat pertumbuhan, bukan tempat trauma. Jika siswa berangkat dari rumah pergi ke sekolah dengan rasa cemas dan takut, maka sekolah telah gagal menjalankan fungsinya yang paling dasar. Kebijakan sekolah harus berpihak kepada korban. Masih banyak institusi pendidikan yang lebih memilih “mendamaikan” kasus bullying daripada menyelesaikannya secara adil dan tegas. Kebijakan sekolah pun harus berpihak pada korban, bukan hanya menjaga citra institusi.

Sayangnya, masih banyak sekolah yang memilih menyelesaikan kasus bullying. Langkah yang harus dilakukan adalah membangun system perlindungan. Perlindungan terhadap korban harus jelas adanya ruang konsultasi yang aman, guru BK yang berperan aktif, sebagai pendengar, dan konselor utama bagi siswa yang mengalami masalah sosial dan kebijakan non-diskriminatif yang konsisten. Karena itu, menciptakan ekosistem sekolah yang aman, nyaman, dan penuh empati adalah tanggung jawab bersama demi masa depan pendidikan Indonesia.

Guru bukan hanya pendidik mata pelajaran, tetapi juga pengamat sosial. Mereka harus dilatih untuk membaca tanda-tanda kekerasan atau tekanan emosional yang mungkin dialami siswa. Sebab, kepekaan guru akan sangat menentukan seberapa cepat intervensi dapat dilakukan. Orang tua juga harus berperan aktif ketika anak menjadi pelaku atau korban, mereka harus aktif memantau perubahan emosi dan prilaku anak serta menjalin komunikasi yang terbuka. Reaksi keluarga sangat menentukan bagaimana anak menyikapi kejadian itu kedepannya.
Komunikasi yang terbuka dan hangat dengan anak akan membantu mengidentifikasi masalah lebih awal dan mendorong amak untuk tidak menyembunyikan pengalaman buruk di sekolah. Jangan biarkan anak tumbuh dalam logika yang kuat yang menang. Ini bukan hanya memupuk pelaku bullying, tetapi mematikan potensi anak-anak yang sensitive dan berpikir kritis. Saat menjadi korban bullying tidak bisa melawan dan hanya diam, meski harga dirinya terinjak-injak. Kemudian dengan berjalannya waktu, dia ekspresikan dengan cara yang tidak pas. Banyak orang yang dianggap baik dan pendiam bisa jadi pembunuh.

Teknologi seperti CCTV pengaduan memang penting, tetapi yang paling dibutuhkan adalah keberanian moral guru dan kepala sekolah untuk bersikap tegas terhadap kekerasan. Harus ada pembenahan struktur ruang aman di kelas, pengawasan aktif, keterlibatan siswa dalam menyusun etika sosial, serta pembelajaran nilai secara aplikatif dan diskursif. Tanpa komitmen moral ini, regulasi hanya akan menjadi dokumen mati tanpa implementasi.
Mengadakan kegiatan sekolah seperti diskusi kelompok, simulasi konflik damai, atau mentoring antar siswa dapat membantu menanamkan empati sejak dini. Budaya sekolah juga harus dirubah total. Tidak ada lagi ejekan sebagai bentuk keakraban, atau pembiaran atas “anak popular” yang sering jadi pelaku. Kita membutuhkan kebijakan dari atas kemdikbud, dinas pendidikan, hingga kepala sekolah yang berani menempatkan kesehatan mental siswa sebagai prioritas utama, bukan haya target ujian nasional.

Bullying bukan masalah individu, melainkan masalah struktur dan budaya. Mengubah utuh konsistensi, edukasi berkelanjutan, dan evaluasi sistematis. Harapan tidak boleh pupus, masih banyak guru yang peduli, siswa yang kritis, dan orang tua yang terbuka. Inilah modal awal untuk perubahan yang nyata. Berbagai solusi pencegahan tindakan bullying terealisasi dengan baik kalau memang ada tindak lanjutnya dari semua pihak. Tindakan bullying butuh kepedulian dan sensitivitas pemimpin, para pengajar, serta para orang tua.
. Bullying bukan hanya persoalan individu, tetapi persoalan budaya dan struktur. Untuk mengubahnya, dibutuhkan konsistensi, evaluasi berkelanjutan, dan partisipasi dari seluruh pihak.

Demikian sekelumit uraian kasus bullying dilingkungan pendidikan yang marak diperbincangkan public di sosial media. Mohon maaf jika ada ulasan yang menyinggung pihak-pihak manapun. Semoga ini menjadi bahas evaluasi dan referensi bagi pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan Indonesia.

Penulis: Fatia Tasya Nabilla (Program Studi Ilmu Pemerintahan Unpam Serang, Semester II)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel serangraya.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Ustadz Sardi: Ingatlah, Jauh Dari Sorga Orang Yang Ganggu Tetangganya
Berada di Sekayam Seakan Dalam Dekapan Ibu Kandung
12 Juli 2025, Jadi Tongak Sejarah Refleksi 78 Tahun Usia Koperasi Indonesia
Bahlil Lahadalia: Politik Itu Serius, Tapi Jangan Kaku
Momentum HUT Polri ke-79, Tantangan Perubahan Transparansi dan Legitimasi di Mata Publik
Anggota DPRD Kota Tangerang Menjadi Narasumber dan Mendapatkan Honorarium dalam Acara Sosialisasi Kegiatan Pemerintahan Kota Tangerang Tumpang Tindihnya Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
BPI Danantara Inovasi Investasi atau Jalan Baru Korupsi yang Terselubung
Perbandingan Antara Ekspektasi dan Kenyataan Dalam Evaluasi Kualitas Layanan Publik di Provinsi Banten

Berita Terkait

Senin, 28 Juli 2025 - 13:53 WIB

Ustadz Sardi: Ingatlah, Jauh Dari Sorga Orang Yang Ganggu Tetangganya

Senin, 28 Juli 2025 - 13:50 WIB

Berada di Sekayam Seakan Dalam Dekapan Ibu Kandung

Minggu, 13 Juli 2025 - 17:15 WIB

12 Juli 2025, Jadi Tongak Sejarah Refleksi 78 Tahun Usia Koperasi Indonesia

Selasa, 8 Juli 2025 - 22:52 WIB

Bahlil Lahadalia: Politik Itu Serius, Tapi Jangan Kaku

Senin, 30 Juni 2025 - 11:47 WIB

Momentum HUT Polri ke-79, Tantangan Perubahan Transparansi dan Legitimasi di Mata Publik

Berita Terbaru