SERANGRAYA.ID | SERANG – Baru-baru ini Pemerintah Indonesia meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai lembaga baru yang dianggap mampu mengelola aset negara secara lebih optimal dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
Tujuan BPI Danantara adalah untuk mengelola aset BUMN agar lebih akuntabel. Di dalam ilmu ekonomi Danantara sebagai Badan Pengelola Investasi (BPI) disebut sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF).
Namun, menyalin sistem dari luar seperti SWF kita tidak bisa hanya sekedar melihat keberhasilannya di negara lain, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor yang membuat lembaga-lembaga itu berhasil seperti tata kelola yang transparan, audit yang ketat, dan bebas dari intervensi politik. Tanpa hal itu, SWF bisa berubah dari alat pertumbuhan menjadi celah korupsi yang rapi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Disini lah muncul berbagai macam kekhawatiran dari publik, meskipun danantara masih seumur jagung tetapi sudah mulai muncul hal-hal yang mencurigakan seperti proses pembentukannya minim partisipasi publik. Bahkan, hampir tidak terdengar adanya partisipasi akademisi dan masyarakat sipil untuk Menyusun arah dan mekanisme Lembaga ini, padahal aset yang dikelola adalah milik rakyat.
Jika dibiarkan DANANTARA akan menjadi arena praktik korupsi baru bagi para kaum elit ekonomi yang ingin mengambil keuntungan dari aset negara, sebagaimana yang sudah terjadi sebelumnya pada kasus 1 MDB (Malaysia Development Berhad) yang semulanya dibentuk dengan baik dan alih-alih membawa manfaat justru malah menjadi pusat korupsi global dengan kerugian mencapai US$4,5 miliar, dimana departemen kehakiman AS telah mengembalikan US$1,4 miliar kepada Malaysia per Juni 2024.
Dengan mempertimbangkan banyak resiko yang akan terjadi, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah apakah BPI Danantara benar-benar jalan keluar inovatif bagi pengelolaan kekayaan negara atau justru akan menjadi jalan korupsi yang terselubung.
Bhima Yudhistira, seorang ekonom dari INDEF mengatakan bahwa tidak adanya laporan keuangan yang bisa diakses masyarakat memungkinkan publik tidak bisa melakukan pengawasan. Situasi ini menimbulkan potensi terjadinya penyimpangan yang besar, terlebih jika dana negara dikelola tanpa akuntabilitas yang kuat (Kompas.com, 2024).
Yang lebih mengkhawatirkan BPI Danantara belum menjalin kerja sama yang jelas dengan Lembaga pengawas seperti KPK dan BPK, dan tidak adanya mekanisme audit yang independent.
Transparansi dan partisipasi merupakan suatu elemen yang mendasar dan penting dalam konteks demokrasi. Jika masyarakat tidak diberi ruang untuk mengawasi dan mengetahui tentang pengelolaan aset negara, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun akan semakin terkikis.
BPI Danantara seharusnya menjadi contoh dalam penerapan good governance.
Namun, untuk mewujudkan prinsip good governance tidak cukup hanya dengan sebatas narasi visi misi yang baik. Negara juga seharusnya memberikan jaminan hukum yang jelas dan memberikan kesempatan bagi masyarakat terkait kebijakan internal di Danantara.
Apalagi Lembaga ini diberi mandat untuk mengelola aset strategis BUMN yang nilainya sangat besar tetapi minim keterlibatan masyarakat.
Sampai hari ini masyarakat masih kesulitan mengakses informasi detail mengenai siapa yang sebenarnya berada dibalik pengambilan keputusan di BPI Danantara. Tidak adanya profil yang jelas mengenai para tokoh komisaris dan direksi yang bisa di akses secara transparan oleh masyarakat. Padahal, sangat penting untuk masyarakat mengetahui latar belakang dan rekam jejak para pengelola untuk menilai kapabilitas dan integritas Lembaga ini. Karena mereka bukan hanya mengatur anggaran negara biasa tetapi mengelola aset publik yang sangat besar.
Keterbukaan informasi tidak bisa hanya sebatas laporan tahunan yang hanya sebatas formalitas dan banyak menggunakan istilah teknis. Publik berhak untuk mengetahui bagaimana proses mitra investasi dilakukan, bagaimana resiko dihitung, dan bagaimana prioritas investasi ditentukan. Semua itu perlu dilakukan secara terbuka bukan hanya untuk membangun kepercayaan publik, tetapi juga sebagai bentuk bahwa negara benar-benar hadir dalam semangat demokratis. Karena, rakyat akan menjadi yang paling dirugikan jika skandal atau kegagalan terjadi.
Penggunaan narasi nasionalisme juga sering dipakai untuk pelindung ketertutupan. Kita sering mendengar frasa “kebanggaan bangsa” untuk menggambarkan lembaga-lembaga strategis seperti BPI Danantara. Namun, apakah proses didalamnya benar-benar menggambarkan semangat kebangsaan sejati? Nasionalisme seharusnya bukan hanya sebatas slogan, tetapi hadir dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat, melibatkan rakyat dalam pengawasan, dan menolak dominasi kelompok elit.
Indonesia memang harus memiliki lembaga investasi negara yang kompetitif dan strategis. Tapi, jangan melupakan integritas. Pengalaman pahit negara lain, seperti Malaysia dengan kasus 1 MDB harusnya bisa menjadi pelajaran yang penting untuk kita. Pengawasan publik tidak boleh dianggap sebagai penghalang, tetapi itu adalah bentuk kedewasaan dalam berdemokrasi.
Pelibatan masyarakat sipil, akademisi, media, dan Lembaga pengawas negara semacam KPK dan BPK justru akan memperkuat legitimasi BPI Danantara. Ketika semuanya berjalan dengan terbuka dan inklusif tentunya akan menumbuhkan kepercayaan publik yang akan menjadi modal sosial yang tak ternilai guna menopang stabilitas Lembaga ini.
Aset bukanlah barang dagangan yang hanya bisa diputarkan ke mereka yang memiliki kekuasaan. Publik juga berhak mengetahui dan mempertanyakan setiap keputusan strategis yang berkaitan dengan masa depan perekonomian bangsa. Jika, prosesnya tertutup, penuh rahasia, dan minim keterlibatan rakyat didalamnya, maka bukan tidak mungkin DANANTARA akan menjadi versi baru dari praktik-praktik pengelolaan negara yang ekslusivitasnya tinggi dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, pertanyaan “apakah BPI Danantara adalah bentuk inovasi pengelolaan investasi negara, atau justru menjadi jalan baru korupsi yang lebih terselubung?” itu bukanlah bentuk tudingan, sarkasme, ataupun sinisme. Melainkan bentuk kewaspadaan masyarakat dan bentuk cinta rakyat kepada negaranya agar tidak jatuh ke lubang yang sama.
Sebagai bangsa yang terus belajar dari sejarah dan dinamika global, Indonesia seharusnya menerapkan prinsip-prinsip good governance sebagai ruh utama dalam setiap kebijakan, termasuk dalam pembentukan BPI Danantara. Jika Danantara bisa menerapkan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan secara konsisten maka harapan untuk menjadikannya sebagai alat pembangunan nasional bisa terwujud. Namun, sebaliknya jika dibiarkan mengambang tanpa pengawasan dan hanya menjadi proyek elitis, maka BPI Danantara hanya akan menambah daftar sebagai lembaga negara yang gagal menjaga amanah untuk publik.
Penulis: Ratu Reni Agustriani (Fakultas Ilmu Sosial Politik Jurusan Ilmu Pemerintahan Unpam Serang, Semester II).